Apoteker Ini Temukan Cara Efektif Atasi Kekosongan Obat di Daerah
Pafi Kabupaten Riau – Kekosongan obat menjadi momok menakutkan bagi fasilitas kesehatan, terutama di wilayah terpencil dan pedesaan. Namun kini, ada secercah harapan dari seorang apoteker muda asal Kabupaten Riau yang berhasil mengembangkan cara efektif atasi kekosongan obat di daerah dengan pendekatan yang tak biasa, namun terbukti efisien dan berkelanjutan.
Nama apotekernya adalah Maya Andini, seorang lulusan farmasi yang telah mengabdikan diri selama lima tahun di Puskesmas Kecamatan Kandis. Dalam pengabdiannya, Maya menyaksikan langsung betapa rumitnya rantai distribusi obat, ketidakakuratan permintaan, serta keterlambatan dalam sistem pelaporan. Alih-alih menyerah pada kondisi, Maya mulai bereksperimen dengan pendekatan baru yang menggabungkan teknologi, komunikasi lintas sektor, dan pengelolaan data yang lebih presisi.
Masalah kekosongan obat bukanlah hal baru di dunia farmasi komunitas. Banyak Puskesmas dan apotek desa mengeluhkan ketidaksesuaian antara kebutuhan dan stok yang tersedia. Seringkali, obat esensial seperti antibiotik, antihipertensi, atau bahkan parasetamol tidak tersedia tepat waktu karena sistem logistik yang terputus atau lambat.
Permasalahan ini tak hanya mengganggu pelayanan kesehatan tetapi juga menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap fasilitas kesehatan daerah. Dalam beberapa kasus ekstrem, pasien dirujuk hanya untuk mendapatkan obat dasar yang seharusnya bisa disediakan di tingkat Puskesmas.
Melihat fenomena ini, Maya tergerak untuk melakukan sesuatu yang berbeda. Ia tidak menunggu sistem berubah, tapi mencoba mengubah pendekatannya sendiri dari bawah ke atas.
Langkah pertama Maya adalah menyusun sistem pencatatan permintaan dan penggunaan obat berbasis Google Form yang bisa diakses oleh semua petugas medis di wilayah kerjanya. Dengan cara ini, data yang masuk menjadi lebih real-time, akurat, dan mudah dianalisis. Tak butuh waktu lama, Maya bisa melihat pola kebutuhan obat dari tiap desa secara mingguan, bukan bulanan seperti sebelumnya.
Langkah kedua, ia membentuk “grup WhatsApp reaksi cepat” antara petugas gudang farmasi kabupaten, distributor, dan rekan apoteker di Puskesmas tetangga. Dalam grup ini, semua pihak saling melaporkan kondisi stok, estimasi habis, hingga potensi kelebihan obat tertentu yang bisa dipertukarkan.
Langkah ketiga adalah membuat sistem buffer stok berbasis prioritas penyakit. Artinya, untuk obat-obat yang menyangkut penyakit berisiko tinggi seperti hipertensi, diabetes, atau infeksi bakteri akut, Maya menyusun proposal agar mendapatkan cadangan minimal dua bulan ke depan dari Dinkes. Proposalnya diterima, dan kini buffer tersebut menjadi standar baru di wilayahnya.
Yang membuat inisiatif ini berjalan lancar adalah pendekatan kolaboratif Maya.
Hasilnya terasa dalam waktu kurang dari enam bulan. Jumlah keluhan masyarakat akibat kekosongan obat turun drastis. Pasien tidak lagi harus membeli obat di luar desa. Pelayanan medis pun menjadi lebih lancar karena tenaga kesehatan bisa fokus pada perawatan, bukan mencari stok obat.
Yang lebih membanggakan, inisiatif Maya kini mulai ditiru oleh Puskesmas lain di Kabupaten Riau. Bahkan, Dinas Kesehatan setempat tengah mempertimbangkan menjadikan sistem Maya sebagai model distribusi obat daerah terpencil berbasis digital.
Kisah Maya Andini menunjukkan bahwa inovasi tidak selalu membutuhkan teknologi mahal atau dukungan institusi besar. Dengan kreativitas, kolaborasi, dan pemanfaatan teknologi sederhana, cara efektif atasi kekosongan obat di daerah bisa terwujud dari akar rumput.
Maya sendiri berharap sistem ini bisa dikembangkan lebih luas lagi dan diberi dukungan regulasi agar menjadi bagian dari standar operasional nasional. Ia juga menyarankan agar institusi pendidikan farmasi mulai memasukkan materi manajemen distribusi berbasis data dan teknologi ke dalam kurikulum tenaga teknis kefarmasian.
Cerita Maya adalah bukti bahwa satu orang bisa menciptakan perubahan besar ketika didukung dengan niat baik, inovasi, dan komunikasi yang efektif. Dalam era pasca-pandemi, ketika tantangan distribusi dan permintaan obat kian kompleks, pendekatan seperti inilah yang dibutuhkan.
Dengan langkah-langkah kecil yang konsisten dan berbasis kebutuhan nyata, kekosongan obat bukan lagi takdir yang harus diterima. Justru, inilah saatnya untuk membangun sistem farmasi komunitas yang tangguh dan adaptif, dimulai dari daerah.