Bahaya! Jika TTK Tidak Update Ilmu, Ini Dampak Nyatanya di Lapangan
Pafi Kabupaten Riau – Tenaga Teknis Kefarmasian (TTK) adalah salah satu ujung tombak layanan kesehatan di berbagai lini fasilitas, mulai dari apotek hingga puskesmas dan klinik. Namun, seiring pesatnya perkembangan ilmu farmasi dan teknologi kesehatan, ancaman nyata mulai mengintai mereka yang tidak aktif meng-upgrade kemampuan diri. Ketika TTK tidak update ilmu, bukan hanya profesi yang tertinggal, tapi juga kualitas pelayanan kepada masyarakat bisa sangat terpengaruh. Fokus keyphrase TTK tidak update ilmu kini menjadi perhatian utama di dunia farmasi komunitas.
Dalam dunia yang serba cepat dan penuh tuntutan, stagnasi pengetahuan bisa menjadi bumerang. Banyak TTK masih merasa bahwa ilmu yang didapat saat pendidikan cukup untuk bertahan, padahal kenyataannya tidak demikian. Pelayanan farmasi komunitas yang semakin kompleks, penggunaan sistem digital, hingga regulasi baru yang terus bermunculan membuat TTK tidak update ilmu jadi masalah besar yang tak bisa disepelekan.
Salah satu dampak utama ketika TTK tidak update ilmu adalah penurunan kualitas layanan kefarmasian di lapangan. Banyak kasus menunjukkan bahwa kesalahan dosis, ketidaktahuan terhadap interaksi obat baru, hingga minimnya pemahaman dalam penggunaan alat farmasi modern berasal dari ketidakmampuan tenaga teknis mengikuti perkembangan terkini.
Pasien menjadi korban ketika petugas farmasi tidak mampu memberikan informasi yang tepat atau bahkan melakukan kesalahan teknis dalam pelayanan. Hal ini tidak hanya membahayakan pasien, tetapi juga merusak citra profesi TTK secara keseluruhan. Oleh karena itu, TTK tidak update ilmu bukan sekadar masalah pribadi, tapi juga persoalan etika dan tanggung jawab sosial.
Dalam beberapa tahun terakhir, digitalisasi layanan kesehatan menjadi kebutuhan mendesak. Aplikasi rekam medis elektronik, sistem distribusi obat berbasis teknologi, dan platform konsultasi daring menjadi bagian dari pekerjaan sehari-hari. Jika TTK tidak update ilmu, terutama dalam hal teknologi, maka peluang karier akan menyempit drastis.
Banyak fasilitas kesehatan mulai merekrut tenaga yang memiliki kemampuan tambahan seperti penguasaan sistem informasi farmasi, manajemen data, hingga komunikasi digital. Mereka yang enggan beradaptasi dengan tuntutan zaman akan tergeser oleh generasi baru yang lebih siap menghadapi era digital. Maka dari itu, TTK tidak update ilmu adalah risiko yang langsung berdampak pada kelangsungan pekerjaan.
Farmasi komunitas menempatkan TTK sebagai garda depan dalam memberikan edukasi obat kepada masyarakat. Namun, ketika tidak update ilmu, kemampuan menyampaikan informasi yang akurat menjadi menurun. Pasien akan lebih memilih bertanya pada internet atau bahkan mencari alternatif tidak resmi jika tidak percaya pada pengetahuan TTK.
Kepercayaan adalah aset yang sangat mahal dalam dunia kesehatan. Sekali hilang, sulit untuk dikembalikan. Jika seorang TTK tidak mampu menjelaskan efek samping obat terbaru atau kebijakan baru dalam penggunaan antibiotik, masyarakat akan menilai profesi ini kurang kredibel. Dengan kata lain, tidak update ilmu bisa membuat kepercayaan publik terhadap profesi ini merosot tajam.
Dampak lain yang tidak kalah serius dari TTK tidak update ilmu adalah risiko tersandung masalah hukum. Banyak peraturan baru dari BPOM, Kemenkes, hingga asosiasi profesi yang mengatur praktik kefarmasian. Ketidaktahuan terhadap peraturan ini bisa berujung pada pelanggaran, bahkan pidana.
Misalnya, salah dalam prosedur pelabelan obat, penyaluran obat terbatas, atau kesalahan administrasi bisa berujung pada sanksi berat. Banyak yang merasa “tidak tahu” padahal itu bukan alasan yang diterima di mata hukum. Maka dari itu, memperbarui ilmu adalah langkah krusial agar terhindar dari jeratan hukum. Kasus-kasus hukum ini makin memperkuat bahwa tidak update ilmu bukan sekadar lalai, tapi bisa menjadi ancaman nyata.
Pemerintah terus memperbarui standar kompetensi untuk tenaga teknis kefarmasian agar sesuai dengan tantangan zaman. Sayangnya, banyak tenaga yang tidak mengikuti pelatihan, seminar, atau program peningkatan kapasitas. Akibatnya, TTK tidak update ilmu menjadi penyebab utama mereka gagal dalam uji kompetensi atau kenaikan jenjang karier.
Pafi dan institusi pendidikan sudah menyediakan berbagai program daring dan luring yang mudah diakses. Sayangnya, tanpa kemauan dan kesadaran pribadi, upaya itu hanya menjadi formalitas. Dalam dunia yang kompetitif, ketertinggalan dalam kompetensi adalah bentuk kegagalan profesional. Oleh karena itu, TTK tidak update ilmu bukan sekadar masalah malas belajar, tapi juga ancaman terhadap keberlanjutan profesi.
Ada banyak cara untuk menghindari risiko dari tidak update ilmu. Mulai dari mengikuti pelatihan berkala yang disediakan Pafi, membaca jurnal kefarmasian terbaru, hingga aktif dalam komunitas profesi online. Investasi waktu dan sedikit biaya untuk belajar jauh lebih ringan daripada kehilangan pekerjaan atau menghadapi tuntutan hukum.
Selain itu, TTK juga bisa mulai membuat catatan pembelajaran mandiri, mengikuti forum diskusi, dan bahkan menjadi narasumber bagi rekan sejawat. Semakin aktif seorang TTK dalam memperluas wawasannya, semakin tinggi pula peluangnya untuk berkembang. Menjadikan belajar sebagai gaya hidup adalah kunci agar tidak update ilmu tidak lagi menjadi mimpi buruk.
Di tengah dunia kefarmasian yang terus berubah, sikap pasif dalam memperbarui pengetahuan bisa menjadi bencana. Saat tidak update ilmu, bukan hanya individu yang rugi, tapi masyarakat pun ikut terdampak. Ini bukan sekadar soal pengetahuan, tapi tentang tanggung jawab, kepercayaan, dan masa depan profesi. Jadi, saatnya berhenti beralasan dan mulai bertindak. Ilmu itu berkembang setiap hari – jangan biarkan dirimu ketinggalan zaman.